Obituari Fadil Zumhana, Selesaikan 5. 161 Perkara Melalui Keadilan Restorativ Justice
JAKARTA, libtasskandal.com — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana yang meninggal dunia karena sakit, dinilai sebagai putra terbaik Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan RI). Selama menjabat sebagai JAM-Pidum, ia menyelesaikan 5.161 perkara melalui Restorative Justice (Keadilan Restoratif).
Fadil Zumhana sebagai Jaksa dimulai saat pertama kali menjabat sebagai Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung tahun 1993. Dalam riwayat jabatannya, ia telah menjabat pada beberapa posisi strategis di Kejaksaan RI, bahkan hingga di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
“Salah satu legacy yang menjadi catatan emas dalam kariernya adalah, mewakili Jaksa Agung untuk menyelesaikan 5.161 perkara berdasarkan Keadilan Restoratif pada tindak pidana Orang dan Harta Benda (Oharda), tindak pidana Keamanan Negara dan Ketertiban Umum (Kamnegtibum), hingga tindak pidana narkotika,” kata Kapuspenkum Ketut Sumedana dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (12/5/2024).
Selama menjadi JAM-Pidum, Fadil Zumhana hampir setiap hari memimpin langsung ekspose Restorative Justice dengan satuan kerja Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi secara virtual. Sebuah kutipan yang sering disampaikan Fadil Zumhana, bahwa Restorative Justice adalah kebijakan hukum yang sangat kuat bagi Jaksa selaku pemilik dominus litis.
Menurutnya, Undang-Undang (UU) Kejaksaan RI sudah cukup jelas menyatakan kewenangan Jaksa dalam mediasi penal, bahwa prosedur penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice terdapat syarat-syarat dan ketentuannya. Oleh karenanya, ekspose Restorative Justice dipimpin langsung oleh JAM-Pidum untuk mempertahankan kualitas yang patut dan layak, untuk sebuah perkara dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif.
Selain itu, Fadil Zumhana pernah menyampaikan bahwa keadilan substantif adalah keadilan yang dirasakan, memperhatikan kepentingan korban, dan kerugian korban terpulihkan. Pada hakikatnya, Jaksa selaku pemegang hak oportunitas memiliki hak untuk tidak melakukan penuntutan dengan treatment yang lebih arif dan adil, dalam melakukan proses penegakan hukum yakni dengan mekanisme Restorative Justice.
Tak hanya itu, penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice memiliki kelebihan yaitu tidak mengedepankan pemidanaan, melainkan pemulihan kepada korban. Fadil Zumhana menekankan kepada Jaksa di satuan kerja tingkat daerah, agar selalu memperhatikan kepentingan korban.
“Belakangan ini dalam rangka mengasah kearifan lokal, kita semakin banyak melakukan ekspose Restorative Justice, bahkan satu hari bisa mencapai lebih dari 20 perkara. Saya bersedia melakukan ini untuk memberikan keadilan kepada rakyat miskin dan demi menegakkan keadilan bagi masyarakat kecil,” ujar JAM-Pidum pada suatu kesempatan.
Fadil Zumhana pernah berpesan agar para Jaksa tetap mematuhi Peraturan Jaksa Agung khususnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022. Selain itu, senantiasa awasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) karena semangat harmoni budaya warisan nenek moyang adalah komunal. Kehadiran negara dalam proses penegakan hukum adalah melalui Jaksa, dan merupakan kewajiban Jaksa dalam melakukan penegakan hukum yang bermanfaat.
“Fadil Zumhana dikenal sebagai pribadi yang tegas dan setia dalam mengabdi kepada negara sampai akhir hayatnya. Kini mendiang telah tiada, namun kiprah dan legacy-nya menorehkan catatan sejarah yakni penegakan hukum yang humanis,” tandas Kapuspenkum. (red)